UNTUK APA KITA Ber'HAJI???
Diterbitkan di buletin Tanpa Nama
Prodi AF, FAK Ushuluddin, UIN Jakarta.
Mayoritas muslim menganggap bahwa menunaikan ibadah haji karena memenuhi panggilan Tuhan yang sedang kangen akan dirinya. oleh karenanya, ia mengucapkan “ada apa Tuhan, kini saya sudah hadir di hadapanMu untuk melenyapkan segala kangen yang sudah lama Kau pendam” ketika sampai di Makkah.
Ibadah haji merupakan peninggalan sejarah keagamaan terbesar dalam sejarah dunia yang sudah dan akan terus eksis dan diyakini umat manusia. Ia tidak hanya mengajak seluruh umat manusia kembali tiga ribu enam ratus tahun silam, namun juga mengajarkan tentang makna-makna kemanusiaan, mengajarkan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Namun begitu naif ketika haji dimaknai sebagai bentuk pemenuhan panggilan Tuhan. pemahaman ini mengindikasikan bahwa setiap bulan Dzulhijjah, Tuhan sedang nongkrong, ngopi, santai atau gelisah karena saking kangennya kepada manusia. Lantas bagaimana jika tak seorang muslim pun yang menunaikan haji –tak mau memenuhi panggilannya-, Tuhan akan sakit hati dengan manusia. Maka selamat untuk manusia karena telah berhasil memermainkan perasaan Tuhan.
Di samping itu, pemahaman tadi sangat bertentangan dengan rasio. Tuhan, Ia adalah dzatagung yang tak terbataskan oleh apapun. Sangat berbeda dengan Ka’bah. Ka’bah adalah makhluk, benda yang berada dalam kungkungan waktu, selalu terikat dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu, jika Tuhan diejawantahkan ke dalam materi –Tuhan sedang ngopi dan segala macam-, jelas menyamakan dzat-Nya dengan sesuatu yang temporal, membatasiNya sama dengan makhluk. Tuhan sederajat dengan materi dan materi sederajat pula dengan Tuhan.
Pemahaman seperti itu tidak dapat dipungkiri lagi. Ia telah merasuk dalam tiap jiwa dan raga muslim pada umumnya. Sehingga pemahaman itu membentuk pemikiran yang terus melekat dan diyakini sepanjang hidup, kemudian juga diturunkan kepada anak cucunya dan juga tetap bertahan sampi sekarang.
Makna haji yang sebenarnya dapat diperhatikan dari segala implementasi haji itu sendiri. Di sanalah terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang patut manusia pahami dan diaplikasikan dalam bergaul dengan orang lain, tuhan, lingkungan dan dengan ketiganya. Intinya nilai-nilai yang mengajarkan kepada manusia bagaimana seharusnya ia menyikapi segala persamaan dan perbedaan yang ada dalam kehidupan.
Makna yang paling ditekankan dalam pelaksanaan haji adalah pelajaran tentang sosial, bagaimana seharusnya manusia dalam menghadapi manusia yang lain yang ditunjukkan dalam praktek-praktek haji. Misalnya, jemaah haji harus menggunakan pakaian ihram putih dan tawaf bersama. Ini menunjukkan bahwa perbedaan latar belakang bangsa, pemahaman (perbedaan madzhab), kekayaan, budaya, postur tubuh dan perbedaan lainnya tak menjadi halangan untuk berdamai menciptakan kearifan di muka bumi.
Manusia harus saling menghargai sejauh apapun perbedaan yang dimiliki. Hal ini tidak hanya terbatas pada kalangan muslim saja, tetapi juga dengan non muslim pun atau sebaliknya, karena tidak dipandang dari perbedaannya, tetapi dipandang dari persamaannya, sama-sama manusia, sama-sama bertujuan. Oleh karena itu, tak perlu mengharuskan perbedaan orang lain sama dengan apa yang dimiliki tiap personal. Ini lah kesucian hati manusia.
Di samping itu, manusia dituntun untuk menjaga lingkungan yang tampak pada larangan membunuh hewan dan sebagainya. Ini juga sangat penting untuk menjaga keseimbangan alam.
Jelaslah, selain haji merupakan kewajiban, juga terdapat makna indah yang harus dipahami dan dikerjakan untuk kesejahteraan. Hal ini yang mendorong muslim terus beribadah haji dengan harapan sekembalinya dari haji ke tanah air akan sadar terhadap eksistensi diri sebagai manusia sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar